Catatan Damai : Toleransi Bukan Asimilasi


Jika perbedaan adalah rahmat, mengapa harus saling menghujat?




Setiap kita pasti memiliki agama yang dianut, memang kodratnya manusia sudah begitu. Manusia memiliki kebutuhan untuk bergantung dan mempercayai sesuatu yang lebih tinggi. Suatu hari saya pernah menonton sebuah film Hollywood, saya suka potongan dialog yang diucapkan oleh tokoh yang atheis, bunyinya begini :
“Bahagialah kalian yang mempercayai Tuhan, sebab kalian tahu dimana harus bergantung dan kemana harus berharap”
Mari bersyukur atas iman kita terlebih dahulu… ^^ 

Tentang Ucapan Hari Raya pada 25 Desember
Banyak yang meminta saya untuk menjelaskan mengapa ucapan itu diharamkan. Ahh, sungguh saya bukan orang yang punya andil, tetapi izinkan saya berbagi ilmu yang saya pelajari. Jika kita berilmu, kita akan memahami. Jika memahami, kita akan menghargai.
Baik, sebelumnya teman-teman mungkin sudah familiar dengan gambar berikut :



Seorang rekan pernah berkomentar, “Nggak nyambung, apa hubungannya syahadat sama ucapan natal?"

Nah, begini…

Natal dalam kepercayaan umat Kristiani adalah memperingati kelahiran Yesus Kristus atau yang dalam agama Islam dipercayai sebagai Nabi Isa Alaihissalam. Umat Kristiani mempercayainya sebagai hari kelahiran Tuhan, atau Anak Tuhan. Tetapi, Islam mengimani Isa sebagai Nabi, bukan sebagai Tuhan. Nah, ucapan natal berarti telah ikut membenarkan bahwa pada tanggal 25 Desember, Tuhan telah melahirkan anak Tuhan. Ini tentunya berlawanan dengan keyakinan muslim seperti yang tertulis dalam surah Al-Ikhlash ayat 3
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”
Sama halnya dengan yang tercantum dalam surah Al-Maidah ayat 17 :
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam."
Saya tidak hendak mengkafirkan orang-orang yang memberikan ucapan natal.
Saya yakin bahwa teman-teman saya umat kristiani tidak akan kekurangan kehikmatan dan keberkatan natal hanya karena tidak mendapat ucapan dari kami. Saya juga yakin bahwa natal akan tetap berjalan penuh khidmat walau tanpa ucapan dari kami.
Tetapi alangkah baiknya jika kita sama-sama memahami mengapa suatu agama melarang atau membolehkan suatu hal, bukan? :)

 Toleransi Bukan Asimilasi
Toleransi dalam KBBI artinya (1) sifat atau sikap toleran, (2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, (3) mendiamkan, atau membiarkan. Sedangkan dalam bahasa sehari-hari kita mengenalnya sebagai Tenggang Rasa.
Coba kita lihat, toleransi itu punya batas ukur serta adanya pembiaran. 


Masalahnya kebanyakan kita justru mengartikan toleransi sebagai asimilasi alias PENCAMPURAN. Misalnya dengan ikut merayakan hari raya umat lain. Hayo, yang ini toleransi atau asimilasi? ^^

Saudaraku, saya yakin tidak ada dari kita yang bersedia agamanya dicampur-campurkan. Tentu tidak ada muslim yang kekristen-kristenan, atau Kristen yang keislam-islaman, atau islam yang kebudha-budhaan, atau budha yang kekristen-kristenan. Kan bingung, itu gimana ya? 

Sungguh lucu pada suatu hari saya mendapati seorang aktivis yang mengaku muslim, getol membela kepentingan umat lain, namun ternyata tidak melakukan sholat. Saya tersenyum saja, dalam hati saya berkata “Mas, mas… Kamu sibuk memperjuangkan umat lain tetapi kewajiban agamamu sendiri belum kamu penuhi. Sudah adilkah kamu, mas?” ^^ 

Karenanya sebagai umat beragama yang baik, marilah menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing dengan sebenar-benar dan sebaik-baik iman. Sewaktu kecil, guru ngaji saya mengajarkan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan keburukan, sehingga kita tidak perlu membenci umat lain. Sewaktu SMA saya juga belajar Perbandingan Agama. Boleh percaya atau tidak, Bibel adalah salah satu bacaan yang sering saya pinjam dari perpustakaan sekolah. Mempelajari agama-agama lain membuat saya mengerti apa yang diajarkan oleh agama lain, bagaimana mereka beribadah serta pandangan hidup mereka. Semasa berkuliah, saya belajar filsafat dimana saya memahami bahwa agama berarti “tidak berantakan”, artinya orang beragama harusnya hidup dengan teratur sesuai panduan agamanya. 

Saya memiliki teman-teman yang berbeda agama, dan kami hidup berdampingan dengan toleransi yang sepatutnya. Saya ingat, setiap kali berkegiatan, teman saya yang non-muslim hapal jadwal sholat saya. Ketika dia mendengar azan, dia bilang “Put, sudah waktu sholat. Kamu nggak sholat? Nanti habis waktu, loh…” Lantas saya pun sholat dengan ditunggui olehnya di luar masjid. Sebaliknya, jika akan berkegiatan di hari Minggu, saya selalu bertanya, “Kamu ada ibadah atau pelayanan, nggak? Selesainya jam berapa?” dan kami akan menunda kegiatan sampai ibadah teman kami itu selesai.

Lantas apakah saya pernah memberi ucapan natal?

Sungguh tidak pernah. Teman-teman saya pun tak pernah menuntut saya untuk mengucapkannya. Dan itu tidak merubah pertemanan kami. Dia mengerti saya, saya mengerti dia. Bukankah dengan saling memahami kita akan saling menghargai? ^^ 

Islam Sudah Toleran
Islam sungguh sudah toleran. Islam membolehkan kita untuk berhubungan dengan penganut agama manapun dalam hubungan pertemanan, pendidikan, bisnis, pergaulan bahkan kehidupan sehari-hari. Kita tidak dilarang untuk berteman dengan agama lain, tidak dilarang untuk bertetangga dengan agama lain. Bahkan Nabi Muhammad menunjukkan kelembutan sikapnya terhadap umat agama lain.

Dalam urusan apapun kita boleh berhubungan dengan agama lain, tetapi hanya satu hal yang tidak bisa yaitu : AKIDAH 

Toleransi dalam Islam sudah jelas, yaitu dalam surah Al-Kafirun ayat terakhir :
Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku."
Nah, jelas sudah mengapa ucapan natal tidak diperbolehkan karena ia sudah masuk di ranah akidah, yaitu kepercayaan umat muslim bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, bahwa Isa ‘Alaihissalam adalah nabi dan bukan Tuhan.

Oh ya, sedikit membahas tentang kata “Kafir” ya…
Saya perhatikan banyak umat non-muslim yang merasa sangat terhina dengan penyebutan kafir, seolah-olah kata kafir itu adalah orang penuh dosa, hina dina durjana se-alam semesta… Hehehe, tidak begitu loh sebenarnya… 

Kafir berasal dari bahasa Arab, asal katanya Ka-Fa-Ra. Tahu artinya?
BERPALING.

Nah, loh! Ada yang baru tau atau gimana nih? ^^

Jadi enggak perlu marah soal penyebutan Kafir, wong arti sebenarnya berpaling, kok... Kenapa kata kafir jadi menimbulkan kontra? Karena nyebutnya pakai emosi. Misalnya “Dasar Kafir!” ya iya kalau gitu bikin emosi. Jadi setelah tahu artinya, tidak perlu emosi lagi ya… 

Jika Begitu, Mari Hidup Damai
Indonesia memang Negara multireligi. Selain 6 agama yang disahkan oleh Negara, kepercayaan-kepercayaan lokal juga masih diperbolehkan. Artinya kita hidup dalam keberagaman dan perbedaan yang mencolok di tengah-tengah kita.

Ayolah, mari kita hidup damai. Menjadi sebaik-baik penganut agama, menjalankan perintah agama dengan baik (jangan ogah-ogahan atau setengah-setengah), jangan mencampur-campurkan sesuatu yang sudah ada batas-batasnya.

Akhir kata, mari ingat kalimat ini bersama-sama :
“Jadilah orang berilmu. Dengan mengetahui, kita akan memahami. Dengan memahami, kita akan menghargai. Dengan menghargai, kita bisa hidup damai”
Wallahu a’lam bisshawaab…

Komentar

  1. Kebanyakan sekarang emang begitu kak, mendapati seorang aktivis yang mengaku muslim, getol membela kepentingan umat lain, namun ternyata tidak melakukan sholat. Saya tersenyum saja, dalam hati saya berkata “Mas, mas… Kamu sibuk memperjuangkan umat lain tetapi kewajiban agamamu sendiri belum kamu penuhi. Sudah adilkah kamu, mas?” ^^ banyak sekali yang begini..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Barbie Berjilbab, Potret Muslimah Kita