Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2012

Tentang 'Bunda'

Rumah itu, tak akan kusebut namanya. Hanya saja aku biasa memanggilnya 'Bunda'. Siapa 'Bunda'? Maaf, aku tak menyebutkan apa 'Bunda'? Karena bagiku rumah 'Bunda' bukanlah sebuah bangunan kecil yang letaknya di belakang 'tetangga' dan seringkali orang dan surat salah alamat. 'Bunda' juga bukan sekedar bangunan yang dua kali seminggu penuh sesak, sempit dan panas sehingga kipas angin menjadi rebutan layaknya barang diskonan. 'Bunda' adalah waktu-waktu dimana kita merasakan begitu banyak kebahagiaan juga kesedihan. Hai 'Bunda', maafkan aku yang pergi darimu. Kurasa aku bukan durhaka, hanya saja kesempatan tak berpihak untukku lagi 'Bunda'... Aku sempat sambangi 'Bunda' sebelum pergi, maka aku bukan lari. Bukan minggat. Aku masih sayang engkau apa adanya. Aku juga bukan anak patuh 'Bun', seringkali merugikanmu, seringkali tak menyukaimu, seringkali lari karena penyakit 'galau', dan tak jara

Mata Manusia

Gambar
"Semua mata manusia sehat" Ini yang selalu kuungkapkan ketika aku merasa ketidakadilan dan ketidakbenaran datang menghampiri Kawanku, semua mata manusia sehat Sekalipun ia rabun mines 6 Silindris Atau katarak sekalipun Matanya pasti bisa melihat kebenaran Selain mata yang sepasang itu, manusia kan punya mata hati yang bisa melihat kebenaran sesungguhnya Jadi nggak usah takut, kalau kamu memang orang baik pasti banyak yang memihak kepadamu Selama kamu melakukan yang benar!

Bukan Sebuah Bukan

Kalian temanku bukan? Hah? Bukan? Ya mungkin memang bukan Karena seorang teman selayaknya menerima temannya dalam keadaan apapun Teman? What friend are for? For hurting each other? Memang tidak semua teman buruk Tapi kalau begini aku rasa tak berteman Kalau kau hanya ingin terkenal Kukatakan Aku Bukan Artis Kalau kau butuh aku sebagai media promosi Kukatakan, apa kau pikir aku spanduk rentang di jalanan? Atau papan iklan? Kalau kau butuh aku sebagai wujud eksistensimu Kukatakan, Aku Bukan 'Alat' Dan Kalau kau terus saja lebih menyayangi orang lain Ya sudahlah, bukankah kita menjadi tidak layak dikatakan sebagai teman? Daripada melukai hati Lebih baik berhati-hati

Berhakkah Engkau Menilaiku?

Berhakkah engkau menilaiku? Menilai aku dari setiap kulit, pori atau hanya hembusan nafas belaka? Silahkan! Silahkan nilai dari fisikku Aku hanya seonggok daging yang bisa bergerak Dengan ruh yang diberikan tuhanku Aku hidup Nilailah aku dari seonggok daging ini Yang kelak hanya akan menjadi bangkai SAMA SEPERTIMU Kita sama-sama akan menjadi bangkai Daging kita sama-sama jadi santapan cacing tanah Berhakkah kau menilaiku? Silahkan nilai dari sifatku Aku hanya sesosok manusia Apa kau tau manusia? "Makanu Nisyaan".. Tempatnya lupa! Aku bukan seperti Muhammad SAW yang sempurna Lantas menjadi kekasih-Nya Al-Ma'shum? Yang terpelihara dari dosa? Uswatun Hasanah? Suri tauladan yang baik? Itu bukan aku, SAMA SEPERTIMU Makhluk yang menjadi incar-incaran setan untuk diundang ke neraka Makhluk yang senantiasa berbuat salah walau tahu itu salah Berhakkah kau menilaiku? Aku ini ciptaan Allah Sama sepertimu Makhluk yang lemah, yang senantiasa bergantung p

Dua Pundak

Pundak ini cuma dua Tak ada tambah Tak ada kurang Yang ditimpakan di pundak ini Sebuah tanggung jawab Dan sedikit masalah Pundak ini cuma dua Kanan dan kiri Raga ini juga tergantung padanya Lelah ia, lelahlah raga Sakit ia, sakitlah raga Pundak ini cuma dua Sudah ada luka Dan jangan kau tambahi lagi dengan luka berkoreng itu Pundak ini cuma dua Tuhan tak kirimkan pundak ekstra Tuhan tak ciptakan pundak yang spesial Tuhan tak hadiahkan pundak yang istimewa Pundakku cuma dua Bukan yang bisa menarik kereta Cukuplah bebanku satu Dan bebanmu juga satu Jangan tambahi lagi bebanmu itu Karena pundak ini cuma dua

Kali Kali Empat

Gadis kecil itu memegang uang kertas 2 ribuan yang masih licin, Bau uang itu membakar semangatnya Dengan bangga ia bercerita tentang dirinya yang sudah bisa hapal perkalian empat walaupun masih duduk di kelas 1 SD “Empat kali satu, Empat…” “Empat kali dua, Lapan…” “Empat kali tiga, ehmmm Dua belas…” Terkadang dia lupa, repot sendiri menghitung dengan jarinya yang cuma dua puluh itu pun jadi. Ditambah seribu lagi. Uang baru lagi. Masih licin juga. Begitulah, usaha keras sang anak menghapal perkalian. Ada tiga ribu rupiah atas usahanya. ADA LAGI. Lelaki buncit berdasi, jasnya licin seperti uang baru, kerjanya duduk melenggang. Dia juga hapal kali-kali! Bahkan kali-kali triliunan dia hapal. “Satu kali setriliun, satu…” “Dua kali setriliun, ehmm bisa berapa aja deh! Jadi 6 Triliun juga bisa” maksudnya… “Satu proyek dikali sekian triliun sama dengan sekian triliun. Terus dibagi, dikurang, ditambah berapa ya biar bisa membangun rumah baru?” Wajar saja, jika si anak