Jangan Terlambat Mengatakannya
Seorang lelaki duduk bersila, di depannya berbaring seorang perempuan. Matanya menatap nanar. Kadang ia bangkit lalu pergi, kemudian saat orang-orang mulai sepi ia kembali lagi. Begitupun, ketika hari mulai berganti, ia terlihat tidak tidur sama sekali. Matanya pun sudah membengkak.
Di antar setengah kesadaranku, sayup-sayup kudengar suara yang sangat menenangkan hati. Aku berusaha menebak, tapi sosok lelaki itu adalah satu-satunya yang tergambar di kepalaku. Aku melanjutkan tidur, sedang lelaki itu melanjutkan lantunan suara nan menenangkan tadi.
Oh ya aku belum mengatakannya, lelaki itu adalah Uwak dan perempuan yang berbaring itu adalah istrinya, lebih tepatnya almarhumah istrinya.
Mungkin sepanjang hidupnya Uwak bukanlah seorang lelaki yang romantis, tapi entah kenapa hari itu, hari dimana kekasihnya pergi, ia berubah menjadi satu dari lelaki romantis yang pernah kutemui.
Masih teringat jelas bagaimana Uwak menangis di depan piring makannya. Uwak bilang,
"Biasanya dia yang menyiapkan makanku, mengambilkan laukku, sekarang..." tersedu-sedu ia bercerita lantas menghabiskan makanannya tanpa selera. Maklumlah, yang mengambilkan makanannya kini bukan lagi istrinya.
Sepanjang malam, bolak-balik ia melihat istrinya yang sudah tidur dalam ketenangan itu. Saat kami semua tengah tertidur, ia yang terjaga duduk di samping almarhumah istrinya, membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan lancar. Ya, sungguh lancar bagi seseorang yang selama ini belum pernah kudengar ia melantunkannya. Ya, kami memang tinggal di kota yang berbeda. Pertemuan rutin kami hanyalah ketika Idul Fitri tiba.
Bukan itu saja, berapa kali ia mengatakan kepada Ayah,
"Kakakmu sudah nggak ada, kayak manalah aku ini..."
Begitukah cinta? Rasanya seperti kehilangan separuh jiwa?
Tangisku justru tidak dapat tertahan lagi melihat cinta paling tulus dari matanya. Ketika istrinya sudah dikafani dan akan dikebumikan, ia duduk tepat di samping kepala istrinya. Lama dia terdiam. Lalu diangkatnya kedua tangannya, membacakan doa mengiringi kepergian kekasihnya. Setelah mengaminkan, ia menciumi wajah istrinya. Berulang kali, di seluruh tempat yang masih bisa ia jangkau. Lalu tangannya yang sudah keriput itu tampak mengusap airmata. Lelaki yang tampak keras itu kini luluh seketika, justru di hadapan perempuan yang sudah tak lagi bernyawa.
Apa yang salah?
Dia hanya terlambat mengungkapkannya.
Ya, terlambat mengatakan bahwa ia mencintai istrinya, sedemikian dalamnya, sedemikian kuatnya.
Ini bukan cerpen, ini adalah kisah nyata yang kulihat sendiri.
Kebanyakan kita gengsi sekali bilang cinta (buat yang sudah halal saja)
Padahal kata-kata cinta seperti maaf dan terima kasih mampu meluluhkan hati begitu sederhananya.
Istri Uwak berpulang pada hari Jum'at, hari baik untuk kembali.
Ketika Uwak perempuan berpulang, yang pertama aku tanyakan dalam hati adalah "Kok bisa dapat hari Jum'at ya? Amalan apa yang telah dia perbuat?"
Pertanyaan itu lantas terjawab.
Uwak perempuan mungkin tidak pernah mendapatkan kata "I Love You" atau sejenisnya dari Uwak laki. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, beberapa kali ia tersakiti karena perlakuan suaminya. Tak perlu dijelaskan masalahnya apa, tapi sebagai perempuan aku pun sepakat perlakuan seperti itu sangat menyakitkan hati.
Tapi yang ia lakukan justru BERSABAR. MasyaAllah, benarlah apa yang Allah Ta'ala katakan : "Meminta tolonglah dengan kesabaran dan sholat"
Aku pikir SABAR adalah kunci spesialnya. Alih-alih bercerai seperti yang banyak dilakukan para artis, Uwak justru bertahan demi anak-anaknya, memberi waktu pada suaminya, menyediakan kelapangan maaf yang terus dipupuknya.
SABAR.
Sampai akhir hayatnya barulah KESABARAN memberinya hasil. Lelakinya berubah menjadi lelaki paling romantis dan penuh cinta walau ia sudah tiada.
Jangan terlambat mengatakannya.
Tak perlulah sebuket bunga atau makan malam mewah yang seperti apa, cinta hanya butuh KETULUSAN dan KEJUJURAN saja.
Selamat jalan Uwak,
Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa'afiihaa wa'fu anhaa...
Di antar setengah kesadaranku, sayup-sayup kudengar suara yang sangat menenangkan hati. Aku berusaha menebak, tapi sosok lelaki itu adalah satu-satunya yang tergambar di kepalaku. Aku melanjutkan tidur, sedang lelaki itu melanjutkan lantunan suara nan menenangkan tadi.
Oh ya aku belum mengatakannya, lelaki itu adalah Uwak dan perempuan yang berbaring itu adalah istrinya, lebih tepatnya almarhumah istrinya.
***
Mungkin sepanjang hidupnya Uwak bukanlah seorang lelaki yang romantis, tapi entah kenapa hari itu, hari dimana kekasihnya pergi, ia berubah menjadi satu dari lelaki romantis yang pernah kutemui.
Masih teringat jelas bagaimana Uwak menangis di depan piring makannya. Uwak bilang,
"Biasanya dia yang menyiapkan makanku, mengambilkan laukku, sekarang..." tersedu-sedu ia bercerita lantas menghabiskan makanannya tanpa selera. Maklumlah, yang mengambilkan makanannya kini bukan lagi istrinya.
Sepanjang malam, bolak-balik ia melihat istrinya yang sudah tidur dalam ketenangan itu. Saat kami semua tengah tertidur, ia yang terjaga duduk di samping almarhumah istrinya, membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan lancar. Ya, sungguh lancar bagi seseorang yang selama ini belum pernah kudengar ia melantunkannya. Ya, kami memang tinggal di kota yang berbeda. Pertemuan rutin kami hanyalah ketika Idul Fitri tiba.
Bukan itu saja, berapa kali ia mengatakan kepada Ayah,
"Kakakmu sudah nggak ada, kayak manalah aku ini..."
Begitukah cinta? Rasanya seperti kehilangan separuh jiwa?
Tangisku justru tidak dapat tertahan lagi melihat cinta paling tulus dari matanya. Ketika istrinya sudah dikafani dan akan dikebumikan, ia duduk tepat di samping kepala istrinya. Lama dia terdiam. Lalu diangkatnya kedua tangannya, membacakan doa mengiringi kepergian kekasihnya. Setelah mengaminkan, ia menciumi wajah istrinya. Berulang kali, di seluruh tempat yang masih bisa ia jangkau. Lalu tangannya yang sudah keriput itu tampak mengusap airmata. Lelaki yang tampak keras itu kini luluh seketika, justru di hadapan perempuan yang sudah tak lagi bernyawa.
Apa yang salah?
Dia hanya terlambat mengungkapkannya.
Ya, terlambat mengatakan bahwa ia mencintai istrinya, sedemikian dalamnya, sedemikian kuatnya.
***
Ini bukan cerpen, ini adalah kisah nyata yang kulihat sendiri.
Kebanyakan kita gengsi sekali bilang cinta (buat yang sudah halal saja)
Padahal kata-kata cinta seperti maaf dan terima kasih mampu meluluhkan hati begitu sederhananya.
Istri Uwak berpulang pada hari Jum'at, hari baik untuk kembali.
Ketika Uwak perempuan berpulang, yang pertama aku tanyakan dalam hati adalah "Kok bisa dapat hari Jum'at ya? Amalan apa yang telah dia perbuat?"
Pertanyaan itu lantas terjawab.
Uwak perempuan mungkin tidak pernah mendapatkan kata "I Love You" atau sejenisnya dari Uwak laki. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, beberapa kali ia tersakiti karena perlakuan suaminya. Tak perlu dijelaskan masalahnya apa, tapi sebagai perempuan aku pun sepakat perlakuan seperti itu sangat menyakitkan hati.
Tapi yang ia lakukan justru BERSABAR. MasyaAllah, benarlah apa yang Allah Ta'ala katakan : "Meminta tolonglah dengan kesabaran dan sholat"
Aku pikir SABAR adalah kunci spesialnya. Alih-alih bercerai seperti yang banyak dilakukan para artis, Uwak justru bertahan demi anak-anaknya, memberi waktu pada suaminya, menyediakan kelapangan maaf yang terus dipupuknya.
SABAR.
Sampai akhir hayatnya barulah KESABARAN memberinya hasil. Lelakinya berubah menjadi lelaki paling romantis dan penuh cinta walau ia sudah tiada.
Jangan terlambat mengatakannya.
Tak perlulah sebuket bunga atau makan malam mewah yang seperti apa, cinta hanya butuh KETULUSAN dan KEJUJURAN saja.
Selamat jalan Uwak,
Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa'afiihaa wa'fu anhaa...
Komentar
Posting Komentar