Abnormal


Aku meletakkan ranselku dan beranjak menuju ke kamar. Hari ini adalah hari terakhirku magang di sebuah media massa. Belum lagi melepas penat, ponselku berbunyi. Dari seorang teman lama, teman SMA ku. Kuangkat teleponnya, ternyata ia mengajakku pergi rekreasi bersama teman-teman seangkatan lainnya minggu depan. “Ide yang bagus”, pikirku. Selain melepas kebosanan atas segala macam urusan yang seabrek itu, acara ini pasti akan mempertemukanku kembali dengan kawan-kawan lama. Ahh, aku baru sadar sudah lama sekali aku tak bertemu mereka. Mataku tertuju pada lemari kecil di pojok kamar. Disitu aku menyimpan semua benda-benda kenanganku semasa SMA. Aku membongkarnya kembali. Sampai kutemukan buku tahunan yang kami buat bersama. Wajah mereka saat itu masih lucu-lucu sekali. Aku jadi penasaran, bagaimana ya wajah mereka setelah empat tahun lamanya tak bertemu? Aku membayangkan ada yang mulai kumisan, jenggotan, atau obesitas malah? Aku tersenyum sendiri jadinya. Lamunanku terhenti saat melihat wajah seseorang. Ya, seorang teman lama yang sampai saat ini belum bisa kulupakan. Seperti cinta monyet, tapi rasa-rasanya tidak juga. Buktinya sampai saat ini aku tetap saja menanti bocah satu ini. Zui namanya.
***
Zui duduk menyendiri di bawah pohon seri yang rindang. Ia membolak-balik bukunya yang tebal sambil sesekali memainkan permen karet yang dikunyahnya. Aku terus saja memperhatikannya. Anak ini aneh. Ia berbeda sekali dengan teman-teman lelaki lainnya. Saat jam isitirahat tiba, ia langsung menuju ke bawah pohon seri ‘keramat’nya itu. Sementara yang lainnya sibuk berebut lapangan untuk bermain bola atau basket. Zui bukan seorang kutu buku sebenarnya, hanya karena sudah dekat ujian saja ia rajin membaca buku. Ia tipe penyendiri. Aku sendiri tidak pernah bicara langsung dengannya. Akupun tidak tahu apa dia mengenalku atau tidak? Maklum saja, saking ramenya siswa di sekolah ini terkadang yang seangkatan pun tidak mengenal.
“Heh, kenapa ngeliatin Zui kayak gitu?”, tegur Mawar. Aku tersentak, dengan cepat aku menggeleng. Saat itu tidak ada yang tahu aku sebenarnya menyukai Zui, namun pada Mawar kuceritakan semuanya. Sahabatku ini menanggapinya biasa saja, ia benar-benar paham sepertinya.
***
Entah bagaimana ia dipanggil Zui, namanya terdengar seperti orang Jepang. Dan itu diperkuat dengan kulit putih, mata cipit dan alis lancipnya itu. Tidak ada yang tahu pasti apakah ia pemuda keturunan atau tidak, yang pasti kedua orangtuanya berkebangsaan Indonesia (itupun saat aku tak sengaja mencuri lihat raportnya). Satu hal yang membuatku sering bertanya-tanya, mengapa Zui sering dijahili oleh teman-teman lainnya? Sering kulihat ia pulang dengan wajah lebam di pinggir bibirnya. Lain waktu, aku pernah melihatnya pulang dengan langkah tertatih sementara kancing kemejanya hampir lepas setengah. Aku hanya berani melihat dengan prihatin saat itu. Aku tak dapat berbuat apa-apa, karena aku bukan siapa-siapa di sekolah. Kalau sudah begitu, aku hanya menyelipkan plaster luka atau perban di lacinya. Sesekali kusertai kartu ucapan yang berisikan kata-kata semangat. Dengan sedikit rasa geer aku berpikir pasti Zui akan mencari pengagum rahasianya itu. Nyatanya? Oh, Tuhan! Sampai kelulusan tiba Zui sama sekali tidak pernah mencariku. Tapi tetap saja, aku yang sudah disihirnya ini tidak bisa melupakan dirinya.
***
“Teng…Teng…”, jam berdentang 12 kali. Oh, sudah tengah malam rupanya. Aku menutup lemari kecilku dan segera mengganti pakaian untuk pergi tidur. Malam itu aku mimpi Zui. Rupanya, lamunan-lamunan tadi terbawa sampai ke alam mimpi. Dalam mimpi tersebut, aku berkumpul kembali bersama teman-teman SMA ku di rumah salah seorang teman. Zui datang dengan kemeja coklat liris miliknya yang terakhir kali kulihat saat kami berjumpa, rambutnya diplontos seperti tentara. Lantas ia berkumpul dengan teman-teman lelaki lainnya. Aku ingin sekali menemuinya, tapi selalu saja ada hambatan. Ada anak-anak kecil yang menarikku lah, ada minuman yang tumpah sehingga aku harus bolak-balik membersihkannya lah. Belum sempat kutemui, aku terbangun. Kesalnya bukan main! Walaupun cuma mimpi, rasanya terbawa-bawa sampai bangun.
Kulirik komputerku yang masih menyala, ada email rupanya. Dari atasanku minta untuk dikirimkan hasil tulisan segera. Setelah mengemailkan tulisan, iseng-iseng aku membuka akun facebookku. Tiba-tiba di beranda ada nama Zui, aku kaget bukan main! Maklum, Zui jarang sekali update. Awalnya kupikir kalau aku berteman dengannya, pasti aku bisa memiliki komunikasi yang baik dengan Zui. Nyatanya, sampai setahun lebih kami berteman Zui hanya nongol empat kali saja. Aku ingat betul Zui hanya mengkonfirmasi pertemanan, mengganti foto profil, lalu bermain game online. Kubuka profilnya, ada seseorang yang mengirim ke dindingnya. “Sayang, cepat pulang ya. Love!”, begitu isinya. Seketika aku terkejut, rasanya kesal bukan main. Jadi dia sudah punya pacar? Seperti apa sih pacarnya? Kapan jadiannya? Dan setumpuk pertanyaan lain di benakku. Aku buka profil si cewek dengan nama akun Mika Cyank itu. Hei, apa-apaan ini? Tidak satupun dari informasinya yang menunjukkan kalau dia itu perempuan. Malah laki-laki tulen sepertinya. Terlihat dari album fotonya yang penuh dengan foto motor balap dan animasi robot. Aku menghela nafas lega. Sepertinya hanya orang jahil saja. Karena setelah itupun Zui langsung menghapusnya.
***
Bolak-balik kutimang ponsel merah ini. Aku ingin sekali menghubungi Reza, tetangga Zui sekaligus teman SMA-ku juga. Aku ingin Reza mengajak serta Zui juga pada rekreasi besok. Daripada pusing, akhirnya kuputuskan untuk tidak menelepon Reza. Kupikir Reza juga tidak bakal ikut, mengingat ia lagi sibuk-sibuknya menyusun skripsi. Ya sudahlah, aku kembali menyusun barang-barang yang akan kubawa besok. Malam itu aku tidur cepat, takut ketinggalan rombongan besok.
                Esok harinya, jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. Kami sudah ramai berkumpul di salah satu rumah milik temanku. Layaknya orang yang sudah lama tidak bertemu, beginilah kami. Saling berteriak satu sama lain sambil memanggil julukan-julukan aneh masa SMA. Tiba-tiba kudapati Reza sedang memarkirkan motornya. Hei, itu dia! Ternyata Reza ikut. Menyesal sekali aku tak memintanya membawa Zui kemarin. Selang beberapa menit kemudian, bus yang akan kami tumpangi datang. Segera semuanya bergerak menuju bus, sedangkan yang lelaki bergegas menyusun barang-barang. Sepanjang perjalanan semua bernyanyi dengan gembira. Persis seperti pesta perpisahan kami empat tahun yang lalu, semuanya kembali merasa muda. Aku dan Mawar sibuk bercerita. Dulu kami punya hobi yang sama, melukis. Kini, Mawar yang sudah bekerja sebagai pramugari tak lagi bisa menjalani hobinya itu. Mawar mengeluhkan kegiatannya yang padat. Sebagai sahabat, aku hanya bisa mendengarkan saja sambil sesekali memberi solusi.
                Bus terus melaju sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 9 malam. Bus berhenti di sebuah food court di satu kota yang kami lalui. Aku menemui Reza, sambil menunggu makanan kuajak ia bicara di tempat yang agak jauh. Dengan takut-takut kutanyakan kabar Zui dan tanpa rasa curiga ia menceritakan semuanya. “Kenapa? Kamu suka sama Zui?”, serangnya tiba-tiba. Aku tersentak. Tapi aku tidak bisa berbohong, setengah malu-malu aku mengangguk. Reza menghela nafas dalam. Reza banyak bercerita tentang Zui yang sering dianggap aneh oleh teman-teman. Lalu alasan mengapa mereka sering memukuli Zui dulu. “Semua itu aku udah tau, kok! Cuma satu yang membuat aku bingung, kenapa kalian bilang dia aneh? Lalu, keanehan apa yang membuat kalian tega memukuli dia seperti itu?”, serangku pada Reza. Reza terdiam. “Dia itu gay. Beberapa kali dia tertangkap  basah dengan pasangan gay-nya. Kami cuma ingin dia berubah, itu saja!”. Kini giliran aku yang balik terdiam. “Zui gay? Lelucon macam apa ini?”, batinku.
Seketika ingatanku melayang entah kemana. Pesan dinding di akun facebooknya? Foto-foto lelaki tampan di album facebooknya? Lalu, pertemuan terakhirku tiga tahun yang lalu dengan dia dan semobil cowok-cowok tampan dengan tatapan yang dingin? Pantas saja Zui selalu mengacuhkan pesan-pesanku di facebooknya. Pantas juga kalau selama SMA ia tidak pernah mencari tahu seorang penggemarnya yang suka mengirimi plaster. Karena ia tidak suka perempuan! Itu jawabannya… Tuhan! Siapa yang sebenarnya abnormal? Apa aku juga tidak normal karena telah menunggu seorang lelaki tidak normal selama empat tahun ini? Dan suara Reza mulai terdengar sayup-sayup di telingaku…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Barbie Berjilbab, Potret Muslimah Kita