Chrisye Bukan Musisi [Review]

Sumber : posfilm.com

Chrisye bukan seorang musisi?! Ya, setidaknya itu yang tergambar dalam film CHRISYE yang rilis pada 7 Desember 2017 ini. Film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani ini mengangkat sisi lain kehidupan maestro Indonesia, Chrismansyah Rahadi atau yang lebih dikenal dengan Chrisye.

Film Chrisye dibuka dengan kisah pertentangan yang dihadapi Chrisye atas larangan Papinya terhadap keseriusannya bermusik. Bagi Papi, musik di Indonesia belum dihargai sehingga takkan mungkin memenuhi kebutuhan hidup dari musik. Padahal saat itu Gipsy -band tempat Chrisye bernaung- baru saja menerima tawaran menjadi homeband di Amerika. Papinya yang semula keras atas sikap kukuh Chrisye akhirnya luluh karena sebuah mimpi. Mimpi itu mengingatkan Papi bahwa anaknya hanya titipan, jadi dia tidak berhak melarangnya.

Secara garis besar film ini tidak terlalu banyak mengambil cerita kesuksesan karir Chrisye. Karena jika mau ditilik, film berdurasi 1 jam 50 menit ini justru lebih banyak mengisahkan Chrisye dan pandangan hidupnya. Setidaknya itu yang saya dapatkan. Tak banyak konflik dalam film ini. Ibarat jalanan, tak ada tanjakan atau turunan yang begitu kontras. Chrisye adalah orang yang sangat perfeksionis, penuh perhitungan dan tidak suka berlarut-larut dalam gegap gempita karirnya. Selain itu ia adalah orang yang memikirkan sesuatu sangat dalam. Terkadang pikirannya itu pula yang membuat dia khawatir berlebihan. Padahal hidupnya baik-baik saja.

Sikap Chrisye yang kaku juga tergambar dengan sentuhan komedi di film ini. Seperti saat ia beberapa kali dicueki Yanti, gadis pujaannya yang akhirnya menjadi istrinya. Orang yang sangat irit senyumnya, begitu kira-kira. Kekakuan nan lucu itu kembali muncul saat Chrisye PDKT ke Yanti. "Saya yakin terhadapmu, Chris," kalimat itu diulang-ulang Yanti dan membuat Chrisye tercengang. "Kamu yakin sama saya, Yan?" dan tawa penonton meledak karena paham maksud kalimat ini ke arah mana. Begitupun saat 'menembak', Yanti seru menceritakan keluarganya yang juga suka musik. Tiba-tiba Chrisya menembak, "Berarti orangtua kamu enggak apa-apa anaknya pacaran sama musisi?" Sangat to-the-point!

Tapi yang paling menyentuh hati saya adalah sisi spiritual Chrisye dalam film ini. Saya sepakat jika orang yang punya jiwa seni hatinya akan halus dan sensitif sekali. Sensitivitas ini menyentuh ranah religiusnya pula. Chrisye berpindah keyakinan menjadi seorang muslim bukan karena Yanti, melainkan ia banyak memperhatikan sekelilingnya. Sederhananya, belajar dari alam. Mengesankan sekali saat Chrisye melamar Yanti di hadapan makam ibunda Yanti. "Yan, kalau kita menikah nanti saya ingin anak-anak mengikuti keyakinan saya. Tapi saya mau kamu yang mengajari." Yanti tentu bingung. Namun Chrisye segera menjawab, "Saya ingin masuk Islam" yang langsung disambut tangis haru Yanti.

Klimaks film ini menurut saya justru pada kisah di balik lagu "Ketika Tangan dan Kaki Bicara" dimana syairnya diciptakan oleh Taufik Ismail. Pada bagian ini, mayoritas penonton dalam bioskop serasa ditohok sekejap. Lagu ini pula yang menjadi jawaban atas kegelisahan-kegelisahan hidup yang dirasakan Chrisye namun tidak bisa dijawab oleh Surya, sepupu Yanti yang banyak membimbing Chrisye paska mualaf. 

Akting Vino G. Bastian bisa dibilang memuaskan karena berhasil membawakan Chrisye tanpa harus menjadi Chrisye. Mimik wajah sampai gesture asli Vino tidak hilang dan tidak terlihat terpaksa menyerupai Chrisye, namun entah mengapa seperti ada aura Chrisye yang hadir. Memang tidak begitu kuat di awal film namun begitu kuat di bagian akhirnya.

Pada akhirnya film Chrisye menyadarkan kita tentang "Totalitas dan orisinalitas dalam karya".
Bravo!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Barbie Berjilbab, Potret Muslimah Kita