Belajar kepada Lelaki Pembelajar
Dia seorang lelaki pembelajar, yang sepanjang hidupnya terus
belajar serta tak luput mengajarkan. Mungkin kita harus iri hati karena seluruh
usianya adalah berkah. Tidak seperti kita yang terkadang menyia-nyiakan waktu. Pun
jika kita gunakan, kadangkala belum tentu menjadi berkah. Lantas kita
diperingatkan dalam surat Al-‘Ashr sebagai orang-orang yang merugi, kecuali
yang beriman dan beramal shalih.
Pada dasarnya manusia memiliki potensi belajar yang luar
biasa. Hanya saja sebagian orang tidak mampu memaksimalkannya. Seolah-olah usai
sekolah maka usai pula periode belajarnya.
Kembali kita bercerita tentang dia. Dia seorang pembelajar
yang baik, memiliki kecerdasan luar biasa dengan kepribadian kuat nan
mempesona.
Mari kukenalkan dia.
Namanya...
Muhammad bin 'Abdullah
Sang kekasih Allah.
***
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu...”
Cukuplah. Cukuplah ayat ini menghentak nalar dan sanubari
kita bahwa Lelaki Pembelajar itu adalah contoh dari apapun yang ingin kita
lakukan.
“Dengan memperhatikan semua standar ukuran kehebatan manusia, kita bisa bertanya, apakah ada orang yang lebih hebat dari dia? Dia adalah filsuf, orator, rasul, legislator (penentu hukum), pemimpin tentara, negosiator ulung, pembaharu, pemimpin keagamaan, pendiri lebih dari 20 wilayah negara berasas agama. Dialah Muhammad” (Alphonse De Lamartine, Paris : 1854)
Hey, bahkan mereka yang bukan umatnya mengakui kehebatannya.
Lantas kita? Tidak cukupkah Muhammad menjadi suri tauladan yang sempurna.
Melihat Cara Allah Mendidik Muhammad
Seharusnya kita tak perlu mengenal takdir buruk, karena
semua ketetapan Allah adalah baik. Yang buruk hanyalah kesalahan kita
menyikapinya. Sekarang mari lihat bagaimana Allah mendidik Muhammad, menjadikannya
kuat sehingga mampu memimpin milyaran ummat bahkan setelah jasadnya tiada ribuan
tahun lamanya.
Muhammad lahir dalam keadaan yatim setelah ditinggal ayahnya
selagi ia masih dalam kandungan. Ketika berusia 6 tahun, ibunya juga pergi
meninggalkan ia. Pengasuhan lalu dipindahkan kepada kakeknya, Abdul Muthalib.
Lagi-lagi Muhammad harus ditinggal kakeknya pada saat usianya 8 tahun.
Terakhir, ia diasuh oleh pamannya Abu Thalib.
Hikmah : Logika kita bisa saja menyebut “Betapa malangnya
Muhammad, berjuang keras untuk dirinya sendiri di usia sekecil itu”. Tapi
tahukah apa yang tengah Allah didik?
Hidup tanpa orangtua : Membuat Muhammad dekat kepada Allah
dan bergantung hanya kepada Tuhan. Tidak ada cerita bermanja-manja karena tiada
tempat bermanja baginya. Tapi lihat? Hidup sendirian membuat Muhammad
memulangkan segala urusan hanya kepada Allah, ia bergantung penuh hanya kepada Allah.
Hidup sulit : Merasakan kesulitan hidup sedari kecil membuat
Muhammad memiliki hati yang lembut. Itulah yang membuatnya tidak pernah
meninggalkan orang-orang yang terpinggirkan dan membutuhkan bantuannya.
Kedekatan ini dibuktikan oleh sejarah bahwa pengikut pertama Muhammad justru
datang dari kaum bawah, para budak dan orang susah.
Lihatlah bagaimana Allah membentuk MENTAL Muhammad.
Salah satu kebiasaan kaum bangsawan Arab di Hijaz, terutama
Mekkah pada waktu itu adalah menyusukan anak yang baru berusia beberapa hari
kepada orang lain yang bertempat tinggal di luar kota, yaitu di perkampungan
Badui. Anak-anak itu tinggal dan diasuh disana sampai berusia kira-kira tujuh
atau delapan tahun.
Begitupun Muhammad, ia disusukan kepada Tsuwaibah sementara
yang mengurus keperluan pribadinya adalah Ummu Aiman Barakah Al-Habsyiyah.
Setelahnya, seperti yang kita ketahui Muhammad disusui dan diasuh oleh Halimah
binti Abu Dzuaid, istri Abu Kabsyah dari perkampungan Bani Sa’d.
Hikmah : Bukan tanpa alasan Allah menjatuhkan Muhammad dalam
asuhan Halimah dari Bani Sa’d. Tinggal di pedalaman bersama Bani Sa’d yang
memiliki kekayaan tradisi lisan dan kemahiran bertutur kata sangat membantu
Muhammad memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Sehingga saat menyampaikan
ajarannya, Muhammad memiliki Jawami’ al-Kaliim yaitu ungkapan singkat dan
bernas (padat). Salah satu alasan mengapa orang-orang Mekkah menitipkan
pengasuhan kepada orang dusun diluar kota Mekkah adalah agar anak-anak mereka
belajar budaya serta bahasa Arab asli (fushah) yang masih murni, tidak seperti
di kota yang sudah terkontaminasi dengan pengaruh asing. Itu pulalah yang
didapati Muhammad pada Bani Sa’d.
Lihatlah bagaimana Allah mendidik KECAKAPAN/SKILL Muhammad.
Suatu hari Muhammad pernah berkata : “Tidak ada seorang nabi
yang bukan penggembala”. Ya, di usianya sekitar 4 tahun, Muhammad sudah ikut
menggembala kambing bersama anak-anak Halimah lainnya. Begitupun saat diasuh
oleh pamannya, Abu Thalib, Muhammad tetap bekerja sebagai penggembala.
Hikmah : Ini berkaitan dengan jiwa kepemimpinan (Leadership)
yang dibangun sedari kecil. Seorang Nabi akan berhadapan dengan banyak manusia,
banyak kepala, juga dengan banyak karakter. Menggembala adalah latihan memimpin
manusia yang beragam macamnya. Bukan hanya itu, seorang penggembala juga harus
disiplin terhadap dirinya sendiri. Jika memimpin dirinya saja belum selesai,
bagaimana mungkin dapat memimpin orang lain. Selain itu terdapat nilai-nilai
lain dalam proses menggembala, yaitu : Kemandirian, Kesabaran, Perenungan dan
Kewaspadaan. Itulah mengapa semua Nabi pernah bekerja sebagai penggembala.
Di keluarga Muthalib, Abu Thalib adalah paman Rasul yang
hidupnya paling sederhana, selain itu Abu Thalib juga memiliki banyak anak. Muhammad
kecil sangat pengertian, sehingga ia membantu meringankan keluarga Abu Thalib
dengan bekerja sebagai penggembala, mencari kayu bakar, buruh batu dan pasir
serta bekerja serabutan untuk orang-orang di Mekkah.
Hikmah : Hidup bersama keluarga Abu Thalib yang sederhana
menjadikan Muhammad sebagai pribadi yang pandai membawa diri. Bukan hanya tahu
diri, tetapi juga mampu membawa dirinya dalam lingkungan apapun, dengan
siapapun. Muhammad tumbuh menjadi pemuda pekerja keras serta mengedepankan
kejujuran sebagai modal utama. Itulah yang membuatnya kaya raya di usia muda
sebagai pedagang yang nyaris tanpa modal saat memulai usahanya.
Lihatlah bagaimana Allah mendidik KARAKTER Muhammad.
Mungkin sebagian besar orang bertanya mengapa para Nabi
diturunkan di Jazirah Arab? Tentu bukan tanpa alasan. Seperti yang kita ketahui
bersama, Jazirah Arab terkenal dengan padang pasir. Padang pasir kerap menjadi
wilayah yang akrab dengan kenabian karena secara alamiah menawarkan cakrawala
tanpa batas untuk diamati mata. Menatap padang pasir mengajarkan kita untuk
memiliki pandangan yang luas serta menyadari akan keberadaan Tuhan sebagai
Pencipta.
Muhammad kecil adalah pribadi yang suka menyendiri dan
merenung. Ini membuatnya memiliki kedekatan yang baik kepada alam. Bukankah
Allah juga mengatakan, jika ingin mengenal Allah maka perhatikanlah
ciptaan-Nya. Proses ini adalah proses isolasi Muhammad untuk menjadi pribadi
yang baik.
Lihatlah bagaimana Allah memilihkan LINGKUNGAN yang baik
untuk Muhammad.
Dia adalah seorang ummiy (buta huruf) tentu tidak bisa
membaca dan tidak bisa menulis. Bagi kaum anti-Islam, hal ini tentu dijadikan
alasan untuk menghujat Muhammad bahwasanya kekasih Allah itu seorang yang
bodoh. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah Muhammad dipelihara pikirannya
dari kontaminasi pemikiran manusia. Coba kita lihat surat Al-Ankabut ayat 48
yang bermakna :
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).”
Yap! Kalau saja Muhammad bisa membaca dan
menulis tentu orang-orang akan berprasangka bahwa Al-Qur’an bersumber dari
pemikirannya dan hasil tulisannya. Dan apa yang terjadi setelah Muhammad
diangkat menjadi Nabi? Kecerdasannya melesat jauh! Menguasai semua bidang
dengan kemampuan yang setara di setiap lini. Bahkan ada yang mengatakan, jika
Muhammad hidup kembali di zaman ini, maka seluruh permasalahan dunia ini akan
selesai. Waw, bayangkan kejeniusan yang dimiliki oleh beliau.
Lihatlah bagaimana Allah menjaga kesucian KENABIAN Muhammad.
Begitulah Allah mendidik Muhammad, mengatur setiap alur
kehidupannya dengan baik dan benar. Lagi-lagi memang tak ada takdir buruk. Toh
yang wajib kita imani adalah Qadha dan Qadr, takdir yang tidak bisa diubah dan
yang bisa diubah. Bukan takdir baik dan takdir buruk, karena sejatinya semua
takdir Allah adalah baik.
Seperti Muhammad Sang Pembelajar, seharusnya tak usah lagi
kita tanyakan mengapa aku begini, takdirku seperti ini, seharusnya aku begini,
kenapa Allah berikan aku ini, kenapa begini kenapa begitu.
Pada akhirnya Muhammad menjadi pribadi yang luar biasa
justru di bawah skenario Allah yang indah. Kalau begitu, belajarlah kita pada
Muhammad yang terus belajar.
***
4 kemampuan yang harus kita miliki sebagai Sang Pembelajar :
· 1, Memahami Self-Awareness
(Hakikat Diri Sendiri)
Ini terkait dengan konsep diri. Dimana kita
harus berhasil mengidentifikasi siapa diri kita, apa tujuan hidup kita, apa
kelebihan dan kekurangan kita lantas apa yang kita butuhkan. Sebuah pepatah
Arab menyebutkan : “Hancurlah orang yang tidak mengenal dirinya sendiri”
Ya, mengenal diri sendiri. Bukan
menciptakan diri sendiri. Mengenal, artinya melihat apa yang ada dalam diri
kita, bukan menciptakan/mengada-adakan yang tidak ada.
· 2.
Memahami Cosmo-Awareness
(Dunia Sekitar)
Ini terkait dengan kesadaran sosial, bagaimana
kita memahami kondisi sekitar dan hal-hal lain diluar diri kita. Sebab “Bencana
paling besar adalah ketidakpedulian”.
· 3.
Memiliki Teo-Awareness
(Kesadaran tentang Sang Pencipta)
Kita dan dunia tentu memiliki Pencipta.
Sang Pencipta tentu juga pengatur yang padanya segala lini kehidupan ini sudah
diatur dengan rapi. Mengenal Sang Pencipta akan menumbuhkan rasa penuh harap
dan ketergantungan hanya kepadanya. “Katakanlah, dialah (Allah) yang satu.
Allah tempat bergantung.”
· 4.
Memahami Relationship
Awareness ( Hubungan antara ketiganya)
Dan akhirnya haruslah kita pahami pula
hubungan antara ketiganya, bahwa ketiga kesadaran itu tidak bisa hanya dipilih
salah satunya. Ia juga tidak bisa bergerak sendirian, melainkan harus memahami
hubungan antara ketiganya.
***
Seperti Muhammad Sang Pembelajar
Seperti itulah harusnya engkau belajar dari Sang Pembelajar
Bukankah engkau harusnya seperti Muhammad?
Miris ya, semoga jadi shock therapy bagi yang baca
BalasHapus