Ayah, Selamat Hari Ayah...

12 November,
Hari Ayah Nasional

Ayah,
Dari kecil aku memanggilnya begitu, tidak pernah berubah. Ayah adalah lelaki pertama yang aku kenal di dunia, tentu. Seorang lelaki yang pertama sekali mendengungkan kalimat-kalimat Allah yang indah di telingaku. Yang itu aku tak ingat, tapi aku tahu...

Siapapun yang pertama kali berjumpa dengan Ayah akan berpendapat sama, "Galak" atau "Seram"
Lalu semua pendapat itu luruh di sekian menit berikutnya, saat Ayah mulai mengeluarkan lawakan-lawakannya. Sontak opini itu berubah, "Lucu ya..." atau "Kocak banget..."
Ayah selalu punya bahan lawakan untuk diceritakan kepada siapapun. Maka kemanapun Ayah pergi, orang-orang sering mencarinya.

Layaknya lelaki, Ayah begitu gengsi untuk menangis. Padahal hatinya begitu gampang tersentuh. Waktu itu, saat aku dinyatakan lolos sebagai finalis Dai Muda Pilihan, Ayah mengucapkan begini di atas motor, "Tadi Ayah nonton iklan Uti di tivi, nangis Ayah..."
Aku tertawa, hal itu ternyata mampu menyentuh hatinya.

Sebenarnya tak pernah kulihat Ayah menangis, mungkin airmata itu kerap disembunyikan dengan sikap kerasnya.
Ya, hidupnya keras dengan didikan yang keras pula.
Sebab Atok kami adalah seorang kepala sekolah didikan Belanda yang begitu keras terhadap anak-anaknya. Ayah sudah yatim piatu semasa kuliah. Sebagai anak lelaki terkecil, Ayah berjuang sendiri untuk hidupnya. Walaupun lebih muda dari Mamak, tetapi Ayah didewasakan oleh hidupnya.

Bagi orang Batak, mempunyai anak lelaki adalah sebuah kebanggaan karena dapat meneruskan marga. Sedang kami hanya berdua, keduanya anak perempuan. Aku tidak tahu apakah Ayah pernah membaca hadits ini atau belum :

Kami, dua anak perempuan yang dicukupi kebutuhannya, dididik sedemikian hebatnya, semoga kami berdua menjadi jalan bagi Ayah untuk sedekat itu dengan Rasulullah.

Sebagian orang mengatakan bahwa Ayah over protective terhadap putri-putrinya. Bayangkan, nyamuk pun tak boleh menyentuh kulit kami. Ini serius. Setiap kami tidur Ayah selalu memastikan bahwa tidak ada nyamuk yang menghinggapi. Bukan cuma nyamuk, cabe rawit pun tak boleh mengganggu. Setiap menyantap panganan dengan cabe di dalamnya, Ayah selalu memilihkan terlebih dahulu. Tapi itu dulu, sekarang kami sudah boleh mengunyah rawit sendiri.

Ayah adalah Guru Anti Gombal sepanjang zaman
Ayah sering mengucapkan kata "Sayang" kepada kami.
"Udah makan, Sayang?"
"Sholatnya dulu, Sayang..."
bahkan ketika marah karena aku lambat, "Cepatlah geraknya, Sayang..."
Jadi gombal-gombal dari laki-laki di luar sana mungkin tak berefek.
Ayah juga sering mencium dahi kami. Kalau kangen, kalau baru pulang dari perjalanan jauh, kalau kami ulang tahun... Selalu ada kecupan hangat dari Ayah.
Semua itu membuatku berpikir, untuk apa mencari kasih sayang yang tidak halal kalau dari Ayahku pun telah kudapatkan kasih sayang yang halal?
Ayah itu romantis dengan caranya, seperti di tulisan ini salah satunya
Mungkin itu pula yang membuatku menerjemahkan romantisme dalam bentuk yang berbeda. Bukan lewat cincin atau bunga, tapi lewat bahasa cinta yang nyata.

Bagiku Ayah adalah lelaki berhati lembut walau di luarnya terlihat keras.
Setiap kali aku punya masalah, Ayah akan cepat-cepat menanyai Mamak, "Itu si Putri kenapa? Coba tanya, ada masalah dia?"
Dan Mamak pun menanyaiku. Ayah mungkin tak bisa bertanya langsung ke putrinya, tapi matanya sangat cepat menangkap perubahan sikap kami.

Terhadap anak perempuannya ini Ayah sangat cerewet. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia olahraga Ayah selalu cerewet untuk urusan makan sayur, makan buah, minum susu, minum air putih yang banyak, istirahat, tidur yang cukup, jangan membaca di gelap-gelap, jangan membaca buku telentang, jangan nonton tivi terlalu dekat, jangan tidur dan lari-lari setelah makan, jangan lupa olahraga dan masih banyak lagi.
Aku hapal, karena kerap diulang-ulang. Efeknya, kami mengingat semua hal itu dengan baik dan menjadi sebuah kebiasaan.

Kadang-kadang aku tidak ingin merepotkannya tetapi hal itu justru membuatnya repot.
"Pulsa Uti masih ada, Nak?"
"Habis, Yah..."
"Udah berapa hari?"
"Empat hari, Yah..."
"Jadi empat hari nggak ada pulsa? Kok gitu, Nak? Kalau ada apa-apa mau nghubungin orang kayakmana?"
Niat anaknya tidak mau merepotkan tapi Ayah justru khawatiran.

Belum lagi perkara uang jajan.
"Masih ada duitnya, Tri?"
"Masih, Yah..."
"Berapa?"
"Sepuluh ribu..."
"Mana bisa cuma pegang sepuluh ribu di dompet? Kalau ban bocor kayakmana? Bensin habis? Kalau ada apa-apa di jalan?"

Begitulah, anak gadis Ayah yang pengen mandiri tapi justru bikin khawatir. Jadi Ayah sering menanyaiku karena kalau tidak ditanya aku juga enggak bakal melapor apa-apa.

Yang sangat kusyukuri sampai hari ini adalah Ayah senantiasa menjaga kehormatan kami, anak perempuannya. Dulu saat SMA, kalau aku mau pergi bersama teman yang ada laki-lakinya, Ayah selalu melarang. Beberapa kali Ayah marah besar karena aku ingin jalan-jalan dengan teman-temanku. Tapi kini aku mengerti itu adalah usaha Ayah menjaga anak perempuannya. Kalau di masa pubertas itu aku dibebaskan, entah sudah bagaimana-bagaimanalah pergaulanku.
Begitupun dengan aurat. Aku masih ingat, semasa SD Ayah sudah melarangku pakai baju tanpa lengan dan di atas lutut, walaupun di dalam rumah. Beranjak besar baju-bajuku digantikan menjadi celana panjang, tidak boleh lagi jenis dress pendek. Setelah dewasa, Ayah juga tidak suka jika melihat bajuku terlalu pendek, terlalu kecil atau terlalu ketat. Tak masalah, begitulah caranya menjagaku dan aku tak menolak itu.

Sekarang Ayah memberikan kebebasan tapi tetap memintaku bertanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan itu. Tak masalah punya teman lelaki asal tahu etikanya. Sebab Ayah paling tidak suka kalau ada teman laki-laki yang datang ke rumah dengan tidak hormat, tidak santun dan tidak rapi. Tetapi terhadap teman-teman yang sopan, santun, beretika dan rapi, Ayah tidak masalah.

Kadang setiap kali menatap punggung Ayah, aku berujar dalam hati,
"Ayah, siapa ya lelaki yang akan meminta Uti dari Ayah? Apa saat itu Ayah percaya menyerahkan Uti untuk dididik olehnya? Ayah, dia bisa menggantikan tugas Ayah kah?"
Ahh, sesuatu yang membuat dadaku panas, penuh haru...

Masing-masing Ayah kita adalah Ayah terbaik sepanjang zaman...
Kenapa?
Ia adalah takdir.
Kita adalah amanah baginya
Dan ia adalah rezeki bagi kita.

Ayah, Selamat Hari Ayah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Barbie Berjilbab, Potret Muslimah Kita