Akumulasi Perasaan

Aku memulainya dengan usaha keras membuka tulisan ini, entah untuk jujur, entah untuk merangkai kata yang manis. Tapi sepertinya tidak, sebab aku hanya ingin terapi.
Ya, lagi-lagi... Karena menulis adalah terapi jiwa.

Ini adalah akumulasi perasaan setelah sekian lama menahannya. Bukan, lebih tepatnya menyamarkannya. Sebab aku tak pernah secara jujur mengungkapkannya kecuali pada media yang sekiranya tak dapat diketahui orang lain.

Baik.
Aku memulainya dengan sebuah usaha move on dari seseorang yang setelah 1,5 tahun kuperhatikan tapi berakhir dengan suatu keputusan untuk move on. Seseorang yang bahkan tidak bisa menyadari keberadaanku, jelas saja karena akupun tak pernah menunjukkan diri di hadapannya. Cinta dalam diam? Tidak. Tapi cinta jalan di tempat. Aku tidak terlalu berani soal yang satu itu, perkara menunjukkan perasaan bahkan sekedar melempar kode.

Januari 2014. Finally it's done! Aku sudah menyelesaikannya. Aku jenuh, sebab aku tidak mendapatkan manfaat apapun dari masa-masa itu. Yang ada justru gelimang kegelisahan. Jelas saja, sebab perasaan kepadanya justru memperburuk hubunganku dengan Sang Penguasa Perasaan, Allah.

Selesai dengan masalah itu aku berniat untuk tidak lagi bermain hati. Takut... Sebab zina hati merusak lebih parah. Bagaimana nasib Mr.Right, imamku nantinya? Ahh, dia tak boleh mendapat sisa! Termasuk sisi-sisi hati ini, dia pemilik seutuhnya setelah Allah halalkan kami. Sabarlah...
Dalam proses ini aku menemukan kembali seseorang yang entah bagaimana ceritanya tampak menarik di mataku. Menemukan kembali? Ya, sudah pernah bertemu, berpisah dan bertemu kembali.
Main perasaan lagi? Alhamdulillah tidak. Aku minta pada Allah segala bimbinganNya agar aku tak jadi rekanan keledai yang terperosok pada lubang yang sama dua kali. Saat angka 21 menyentuh, aku mengubah orientasi soal lawan jenis.

Jika ia buku, maka aku membaca setiap lembar darinya. Begitulah kira-kira, aku terus menilai sisi-sisi dalamnya. Sisi luarnya? Ahh, aku sudah kenal dia dari jauh-jauh hari...

Aku menilai karakternya. Kuat. Bisakah kukatakan begitu? Dengan segala macam latar belakangnya yang sangat random (bahkan ia rahasiakan) ia bisa muncul sebagai seseorang yang kuat secara karakter. Ia pasti berjuang dengan sangat kuat dan itu terlihat dari apa yang ada pada dirinya kini.
Aku menilai sikapnya, dalam bertanggung jawab dan bekerjasama. Bolehlah, bukan seorang yang anti-kritik dan bisa menerima perbedaan keputusan. Walaupun dia ingin yang paling sempurna dan sesuai dengan yang direncanakan. Well, it's him.
Aku menelusuri dirinya, seperti menyusun puzzle. Dari potongan cerita yang kemudian kurunutkan, dari setiap tulisan, dari bahasa non verbal yang berusaha ia sampaikan. Oke, syukurlah aku menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi. Perkara yang sudah ditangani sehari-hari, membaca pesan.
Begitulah, aku membaca setiap halaman dirinya.

Memasuki Ramadhan aku berdoa kepada Allah
"Tolong kunci hatiku selama Ramadhan ini ya Rabb, aku tak ingin ibadahku rusak karena nafsu..."
Walaupun setan tengah dibelenggu, tapi sisi setan dalam diri ini belum tentu ikut terbelenggu.
Alhamdulillah, ujian perasaan yang datang di bulan ini justru menguatkan hati, melatihnya untuk kokoh di sebelas bulan ke depan.

Aku cerita ke teman-teman, aku pikir aku butuh pendapat mereka soal seseorang ini. Pertimbangan-pertimbangan itu ku akumulasikan menjadi sebuah keputusan. Keputusan apa? Ahh, cukup teman-temanku itu yang tahu.

Tapi kemudian keputusan itu aku tarik kembali untuk dipertimbangkan. Sekalipun aku tak menggunakan perasaan dalam menilai tapi untuk keputusan yang satu itu tetap tak boleh mencampurkan nafsu pula. Logika harus tetap sehat dan hidayah Allah lah satu-satunya pelita.
Aku tidak ingin mencampurkan hawa nafsu ke dalamnya, aku ingin Allah saja yang mencampurinya.

Kupikir...
Baiklah. Aku juga tidak bisa begini.
Jika Allah kirimkan Mr. Right yang sesungguhnya sedang aku masih fokus pada dia saja, bukankah aku telah menyia-nyiakan hidayah Allah dan memilih mengikuti nafsuku?
Ya sudahlah, pun jika bukan dia aku takkan memaksa.
Waktu terus berjalan, dan seorang yang memintaku dari orangtuaku itu akan datang. Entah dia atau siapa, yang jelas aku bersyukur sudah bisa melatih hati untuk tak bermain-main lagi.
Hati ini sudah lelah sebenarnya sebab harus berpindah-pindah dari seorang ke seorang lainnya yang berakhir dengan 'nothing'. Dan di saat yang sama aku tahu bahwa hukum menikah bagiku sudah jatuh menjadi Wajib karena tak bisa lagi menjaga hati. Selama rentang waktu penantian, ada baiknya diisi saja dengan perbaikan diri daripada mengendapkan segumpal-gumpal harapan dan khayalan yang lagi-lagi akan merusak hati saja.

Hatiku sayang, maafkanlah aku tak bisa menjaga 'kesehatanmu'...
Allah, jaga hatiku...
Sebab tiada yang dapat memasuki surga kecuali dengan hati yang selamat (Qolbun saliim)...

-Kamar, di tengah perenungan panjang-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Barbie Berjilbab, Potret Muslimah Kita