Cerpen : Sepuluh Dhuha


Apa yang paling menyebalkan dari saat berkumpul dengan keluarga kalau bukan ditanya soal pernikahan. Sudah ada calonnya? Kapan mau menyusul adikmu? Jangan lama-lama loh nanti diambil orang. Ahh, aku hampir jenuh mendengarnya. Sekali dua kali masih bisa kusangkal dengan alasan versi aku, lama kelamaan menjawab dengan senyum pun sepertinya sudah tidak ampuh lagi. Ibu yang biasanya tenang-tenang saja pun sekarang mulai senang menyindir soal jodoh. Sekarang setiap kali pulang dari undangan teman atau kerabat, ibu akan segera bercerita tentang si ini yang sudah punya anak atau si itu yang sudah punya cucu. Rasanya semua orang sedang menerorku sekarang.
“Jodoh itu kan ditangan Allah, Bu”, aku mengeles lagi kali ini.
“Iya, dan akan tetap di tangan Allah kalau kamu tidak memintanya”, jawab ibu sambil menyemai tanaman hiasnya. Aku menyeruput teh pahit yang sudah hampir dingin ini. Pahit dan dingin, seperti hatiku. Wanita mana yang tidak ingin menikah, memiliki pasangan, menjadi istri sekaligus ibu. Aku tahu semua itu sangat menyenangkan. Ada banyak alasan mengapa aku belum ingin menikah sampai di usia penghujung kepala dua ini. Ketiga kakakku sudah menikah dan rumah tangga mereka tampaknya tidak berjalan mulus. Kak Rin ditinggal suaminya yang harus mengabdi menjadi guru di daerah tertinggal, terpaksa ia membuka kios kue kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kak Hani dengan ikhlasnya rela dimadu oleh suaminya dengan alasan menolong janda beranak empat yang terlantar. Dan yang diatasku, Kak Amia sepertinya menikmati penderitaan hidupnya dengan suami yang berpenghasilan lebih kecil daripada dirinya. Mereka bertiga sebenarnya tidak pernah mengeluh, malah sebaliknya. Tapi bagiku, apalah enaknya menjalani rumah tangga seperti itu. Dan yang paling menyesakkan adalah saat adikku, Rasti memilih untuk melangkahiku. Dia cukup berani mengambil keputusan itu.
Aku pamit kepada ibu dan segera berangkat ke kantor. Aku bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah keluarga. Sekarang kantorku mendadak ikut menerorku juga, karena rekan-rekan di kantor senang meledekiku “Editor di majalah keluarga kok belum bekeluarga sih?”, begitu kata mereka. Sebenarnya ledekan itu sudah menjadi barang biasa di kantorku tapi akunya saja yang sedang sensitif mendengarnya.
“Kenapa, Wa? Masih galau soal yang kemarin lagi?”, Della menghampiri mejaku sambil memberikan tulisan yang akan ku edit. Aku mengangguk. Della adalah sahabatku sejak di bangku kuliah, dan dia tahu betul permasalahanku ini. Della bukan tak perduli, tapi ia mengerti sifatku yang tak suka dicampuri soal urusan pribadi. Ujung-ujungnya dia cuma akan menasehatiku untuk memperbaiki diri. Maklumlah, Della yang memiliki suami seorang ustadz itu selalu menyurhku untuk meningkatkan ibadah jika ingin mencari jodoh yang baik.
“Sholatku sudah tidak bolong-bolong lagi kok, Del”, terangku padanya. Della menarik kursinya dan duduk di sebelahku.
“Kamu coba deh tambah dengan amalan sunnah, kayak sholat Dhuha. Karena sholat Dhuha akan melancarkan rezeki seseorang. Termasuk soal jodoh”. Kali ini perkataan Della kumasukkan dalam hati. Benar, mungkin yang wajib saja tidak cukup, mungkin Allah menginginkanku untuk lebih dekat lagi pada-Nya.
“Dan satu lagi! Jangan banyak milih, cantik…”, Della menjawil hidungku. Dia segera menarik kursi menuju meja kerjanya. Della ini sok tau! Aku tidak banyak memilih kok. Tapi aku tidak ingin merasakan apa yang dirasakan ketiga kakakku, jadi wajar saja aku lebih selektif dalam memilih pasangan. Aku ingin seorang lelaki yang pintar untuk menjadi ayah bagi anak-anakku kelak, aku juga ingin lelaki yang berpenghasilan mapan karena kelak aku tidak ingin menjadi ibu dan istri yang sibuk bekerja sampai meninggalkan kewajibanku. Lebih baik aku menjadi ibu rumah tangga saja, tak apa tak berkarir asal dia mampu menghidupi keluarga. Hemm, aku juga tak ingin yang terlalu tua walaupun aku tahu lebih besar kemungkinanku untuk medapatkan yang tua ketimbang yang masih muda. Maklumlah, resiko lama menikah. Tapi adakah yang sepaket lengkap seperti ini? Aku tak begitu yakin sebenarnya.
Saran Della mulai kujalankan. Mulanya memang malas-malasan untuk mengerjakan sholat Dhuha yang hanya dua rakaat itu. Tapi aku tahu ini pasti pekerjaan setan yang menggodaku untuk bermalas-malasan sehingga semakin menjauhkan aku dari impianku. Dengan segenap hati kuangkat takbir menyerahkan diri kepada Rabb-ku. “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu kegelisahan ini. Dan Engkau tahu yang terbaik untukku”, batinku manakala berdoa selesai sholat Dhuha. Dengan tidak segan kucurahkan semua kegalauanku kepada-Nya, tak malu pula aku pintakan jodoh yang sesuai dengan impianku. Toh, Allah menyuruh kita untuk berdoa dan meminta kepada-Nya, lantas apa salahnya kupinta seseorang itu?
Seminggu saja kujalankan, rasanya ada yang berbeda dengan hidupku. Lebih lapang, lebih tenang, lebih nyaman, lebih… Ahh, lebih baik coba rasakan sendiri. Soal jodoh itu pun tak ku pusingkan lagi karena semakin lama semakin ku pasrahkan kehadirat Allah Ta’ala.
Ini sudah hari kesepuluh kuamalkan sholat Dhuha dengan rutin. Belum selesai melipat mukena, Della yang baru siap berwudhu menghampiriku. Dia memintaku untuk menemaninya ke perpustakaan daerah. Katanya ia harus bertemu temannya, seorang dosen sekaligus praktisi bidang psikologi yang akan diminta untuk mengisi rubrik konsultasi keluarga di majalah kami. Aku mengiyakan saja, mumpung aku sedang tidak ada kerjaan karena editanku sudah kuserahkan kepada redaktur barusan.
Selepas Della sholat, kami segera berangkat dengan mobilnya ke perpustakaan daerah. Jalanan sedikit macet, aku menggerutu dalam hati.“Aneh sekali, ketemuan di tempat lain saja kenapa rupanya?”. Aku bertanya tentang calon pengisi rubrik ini. Kata Della namanya Hana, teman kecilnya dulu. Mengambil S1 dan S2 di luar negeri kemudian kembali ke tanah air dan memilih menjadi dosen sekaligus praktisi. Hana pasti sangat cerdas. Ya, aku beberapa kali mendengar cerita soal temannya yang bernama Hana dari Della dan aku pikir mereka memang cukup dekat hanya saja baru kali ini aku berkesempatan menemuinya.
Sesampai di perpustakaan yang ditunggu belum tiba. Jadilah aku dan Della yang suka melahap buku ini menjelajahi isi perpustakaan. Hampir lima belas menit kemudian barulah Della dihubungi oleh Hana kalau ia baru saja sampai. Della segera menemuinya sedangkan aku masih asyik dengan bacaanku. Tak lama berselang, Della memanggilku.
“Yang mana Hana?”, tanyaku sambil melihat sekeliling perpustakaan yang sepi. Taka da sosok wanita di sekitar sini. Della tertawa.
“Ini Hana, lengkapnya Hanafi. Aku terbiasa memanggil nama kesayangan ibunya itu”
Mataku membelalak. Bukan karena tak percaya bahwa Hana yang dimaksud adalah lelaki, tetapi sosok Hanafi ini seperti…seperti… Seperti jodoh yang aku pinta! Ya Allah, inikah sepaket lengkap yang sempat kuragukan keberadaannya itu? Inikah orangnya? Hanafi tersenyum kepadaku. Ia mengenalkan dirinya sambil menangkupkan tangan di dada. Aku membalas dengan cara yang sama. “Hilwa”, kataku.
Sepanjang pembicaraan Della dan Hanafi, aku lebih banyak diam. Ribuan pertanyaan menggebu-gebu di dalam pikiranku. Inikah jawaban dari sepuluh Dhuha ku? Hanafi kah orangnya? Bagaimana mungkin ada orang sesempurna pintaku? Tapi siapa Hanafi? Bagaimana kalau dia sudah menikah? Ahh, perasaan apa ini. Mungkin Hanafi pun tak tertarik melihatku. Dia masih terlihat sangat muda, gagah dan… sedikit tampan. Ehm, bukan. Tapi memang cukup tampan. Ya, Allah… bagaimana ini?
***
Aku mengaduk teh dalam gelas lagi. Kali ini teh manis yang hangat. Seperti suasana hatiku yang sedang dipenuhi kemanisan dan kehangatan. Tangan yang kekar melingkar di bahuku dengan penuh kelembutan. Dia menggelayut manja sementara aku kegelian. Aku memukul tangannya dan dia menjerit pelan.
“Jangan marah-marah dong, nanti cepat tua”, katanya.
“Memang aku sudah tua”, jawabku pura-pura ketus. Hanafi tertawa lepas.
Sejatinya aku memang lebih tua darimu, Mas… Mas Hanafi. Sejak pertemuan kita hari itu kau tahu? Aku semakin memperbanyak rakaat sholat Dhuhaku. Di tengah malam kutambah lagi dengan Tahajjud yang panjang dan penuh cucuran airmata. Saat itu aku merasa Allah sedang menunjukkan kepadaku bahwa aku tak boleh meragukan-Nya. Aku menangis di sepertiga malam memohon ampun karena sempat meragu dengan kedatangan jodohku, tak lupa ku pintakan jalan keluar karena hati ini terlanjur terpikat padamu.
Tak ada lagi cerita tentang dirimu dari Della, sedang aku malu berkata. Sampai hari itu, dua bulan setelah pertemuan kita kau datang mengutarakan niatmu untuk melamarku. Di depan orangtuaku kau tunjukkan kesahajaanmu yang pada akhirnya meyakinkan mereka untuk menerima dirimu sebagai menantu. Kau tahu? Itu adalah sholat Dhuha ke-93 yang aku laksanakan. Dan hari itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidupku.
“Masih suka menghitung sholat Dhuhamu?”, tanya mas Hanafi. Dia sepertinya suka saat mendengar cerita Della tentang perjuanganku menjemput jodoh. Terutama cerita tentang sepuluh dhuha itu. Sepuluh hari dengan sholat Dhuha yang mengantarkan pada pertemuan pertama kami.
Mas, akan ada seratus, seribu bahkan sejuta Dhuha lagi. Bukan untuk meminta yang lebih baik lagi darimu, tapi meminta engkau dan aku yang lebih baik. Untuk kehidupan kita yang lebih indah, di bawah naungan keridhoan Allah.
Jika sepuluh Dhuha itu bisa memberikanku kebahagiaan seperti ini, maka aku berkenan untuk terus melaksanakannya lagi ya Rabb…

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Menghayati Lagu Cicak di Dinding