Bukan Aku yang Memintanya, Bu…



Sama seperti orang awam lainnya, pada awalnya aku sangat takut dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Wajarlah, mengingat selama ini sosok mereka direpresentasikan secara negatif. Tapi aku belum pernah bertemu mereka sampai satu hari aku pergi ke Bandung, ke rumah kakak angkatku yang sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Dia terlahir dari keluarga dengan ekonomi yang cukup memprihatinkan. Yang paling menyedihkan bukan Cuma itu, tapi dia punya dua orang keponakan yang tertular virus HIV/AIDS dari ibu mereka yang tidak lain adik kandung kakak angkatku ini.


Yang paling besar sebut saja Caca, dan adiknya Rafa. Caca sudah berumur10 tahun tapi tubuhnya kecil seperti anak umur 6 tahun. Kontras sekali dengan fotonya saat masih gemuk dan putih, sewaktu dia belum ketergantungan terhadap obat. Efek obat itu membuatnya tidak bisa mendengar dan secara otomatis dia jadi tak banyak bicara. Tapi aku penasaran pingin ngajak Caca main, karena dia sebenarnya pintar juga sangat dewasa. Aku pelan-pelan mengintip ke pintu kamarnya. Caca lagi tiduran, sementara kakakku membuka perban di lengannya. Kupikir dia baru jatuh, wajarlah anak-anak. Tiba-tiba ibu Caca masuk, membawa suntik dan sebotol cairan yang aku tak tahu apa. Aku tanya pelan-pelan ke kakakku tapi ibunya kelihatan tidak suka. Makanya aku pilih keluar.

Itu Caca. Lain lagi adiknya Rafa. Bocah laki-laki ini berumur 2 tahun ini sebenarnya tidak diharapkan kehadirannya. Bapak Caca sudah meninggal karena overdosis, tiba-tiba ibunya sudah mau memberi adik saja! Caca yang polos cuma tau kalau adiknya juga punya bapak, tapi bukan dari bapaknya. Wajah Rafa pun berbeda dengan Caca, lebih terlihat seperti orang bule. Kalau kata Caca, bapaknya adek memang orang bule (cerita dari ibunya). Kakakku bilang, Rafa sebenarnya bisa saja terhindar dari virus HIV/AIDS asal waktu lahir dia tidak mbrojol dari vagina ibunya melainkan harus dioperasi. Sayangnya, Rafa keburu mbrojol duluan. Akhirnya Rafa terdeteksi kena virus yang sama juga dengan kakaknya, Caca.
Ibunya? Jangan tanya. Kedua anak ini malah lebih sering ditinggal pergi. Seperti waktu itu, Rafa agak demam dan Caca batuk. Tapi ibunya santai saja berdandan cantik dan pergi dengan lelaki bersepeda motor. Entah siapa lagi itu. Yang mengurus? Siapa lagi kalau bukan neneknya dan kakakku.

Aku melihat wajah kedua bocah itu. Satunya cantik, satunya juga tampan. Apalagi Rafa yang bulat dan putih. Menggemaskan. Rafa yang lagi senang-senangnya ngences jadi makin ngegemesin. Aku jadi tertarik untuk main bersamanya. Tapi ya itu, orangtuaku malah melarang mendekati Rafa karena tahu dia terinfeksi virus HIV/AIDS. Rafa bersin, nggak boleh didekatin. Rafa batuk, juga gitu. Rafa main sempritan, juga nggak boleh dipegang bekas sempritannya. Padahal setahuku virus ini tidak bisa menular lewat ludah. Tapi aku nurut saja, namanya juga omongan orangtua.

Beda lagi Caca, sejak sakit dia sudah tidak sekolah lagi. Terakhir kali di bangku kelas 3 SD. Caca yang pintar masih suka belajar sendiri di rumah kadang-kadang minta diajarin oleh kakakku yang dipanggilnya ‘Bunda’. Caca cuma punya satu permintaan yang dibisikkannya ke neneknya. Katanya, “Nek, kamar yang di atas boleh Caca pakai enggak? Soalnya kalau udah besar nanti Caca mau nikah dan tinggal di kamar itu”. Simpel. Saat anak kecil lainnya punya banyak cita-cita, Caca cuma pingin menikah dan tinggal bersama neneknya. Entahlah, aku sendiri tidak bisa menangkap makna di balik keinginan Caca. Memang sikapnya terlihat jauh lebih dewasa dari umurnya. Jelas sekali terlihat saat kami mengajaknya jalan-jalan ke kota untuk beli oleh-oleh, Caca tidak meminta apapun ke ‘bunda’nya karena tahu bunda juga sedang tidak punya uang. Bahkan kalau tidak disuruh pilih makanan, Caca tidak akan makan siang. Kedewasaan yang tertempa dari keadaan.

Dengan ekonomi yang sangat memprihatinkan seperti itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saja sangat susah. Apalagi untuk obat-obatan khusus yang pastinya akan sangat mahal. Aku lihat di lemarinya, di antara tumpukan baju-baju berjejer obat-obatan yang aku sendiri jarang melihat namanya. Yang pasti obat-obatan itu mahal, pikirku.

Syukurlah, ada sebuah yayasan yang membantu mereka berdua. Yayasan itu yang kemudian membantu pengobatan Caca dan Rafa mengingat Caca yang juga sudah tidak bisa pisah dari obat. Dengan mendaftarkan Caca dan Rafa ke yayasan tersebut, tiap bulannya mereka dapat kesempatan kontrol  kesehatan serta obat-obatan secara gratis. Kalaupun ada yang harus dibayar biasanya mereka mendapat diskon. Bukan cuma itu, keduanya juga dapat paket makanan seperti biscuit juga snack ringan.

Ya, Caca dan Rafa berhak sehat. Caca berhak punya masa depan untuk sekolah dan memperoleh pendidikan. Sehingga ia punya cita-cita selain menikah. Caca tak harus menjadi pesakitan yang harus terbaring di rumah, tak harus dijauhi teman-teman karena penyakitnya walaupun sudah ketergantungan terhadap obat. Rafa pun sama, memiliki masa depan yang indah dan hidup yang sehat.

Karena andaikan bisa, bocah-bocah ini akan katakan…
“Bukan aku yang memintanya, Bu…”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Menghayati Lagu Cicak di Dinding