Bukan Ini Jalannya, Sobat...


Hari masih lagi gelap, sayup-sayup terdengar suara kokok ayam saling bersahutan berbaur dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur`an. Seolah ayam pun bertasbih kepada-Nya bersama dengan alam semesta. Aku terbangun, masih dalam keadaan setengah sadar kuperhatikan teman-temanku satu persatu. Wajah mereka tampak lelah sekali. Maklumlah tadi malam kami semua sahirallayali menghapal pelajaran untuk menghadapi ujian pertengahan tahun yang sebentar lagi akan tiba. Aku bangkit dan segera mengganti baju sholat dan sarungku untuk segera pergi ke mesjid. Kuguncang satu persatu tubuh teman-temanku untuk segera bersiap sholat subuh di mesjid. Kini kamar mulai ramai, masing-masing bersiap diri kecuali satu orang lagi yang sama sekali tak berkutik walau sangkakala sudah ditiup. Begitu kami menyebutnya. Raffa namanya. Kuguncang tubuh jenjang dan putih itu tapi tak sedikitpun reaksi yang ia berikan. Kutarik sarung yang menyelimuti tubuhnya. 'Hhh…bahkan ia tak sempat mengganti pakaian tidur' pikirku. Ditepisnya tanganku dan membalikkan tubuhnya ke arah dinding. Sudahlah, paling ia akan keliling pondok lagi sambil membawa tilam dan bantalnya seperti yang sudah-sudah. Toh, ia sudah kebal dengan hukuman itu. Qori` di mesjid sudah mulai melantunkan ayat-ayat pendek menandakan adzan akan segera dikumandangkan. Setengah berlari aku berlari menyambar sajadahku dan pergi ke mesjid.

            Sepulangnya dari mesjid aku segera mandi dan bersiap untuk pergi ke kelas. Tiba-tiba Raffa datang menemuiku. ”Zal…”, katanya. Mulailah Raffa bercerita kepadaku tentang keluh kesahnya dan masalahnya yang berentet. Mulai dari bolos dari kelas, berpacaran dengan Sari-santriwati kampus seberang-, lari dari kampus dan pergi nge-trek, merokok, membawa handphone sampai yang paling parah … ngelem! Astaghfirullah, aku hanya bisa mohon ampun dalam hati. Jadilah pagi itu aku tak sarapan karena mendengarkan Raffa. Kupikir, semua itu memang salahnya karena ia telah melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Namun, aku berjanji akan menyelesaikan masalahnya semampuku. Akupun pergi ke kelas. Sedangkan Raffa memilih untuk bolos…Lagi…
            Sepulang sekolah kutemui ustadz Ihsan, beliau adalah pembimbing asramaku. Kuceritakan berbagai permasalahan yang dihadapi Raffa. Ustadz Ihsan tersenyum bijak, aku tahu beliau ustadz yang arif. Tidak seperti beberapa pembimbing yang kadang suka bertindak seenaknya dan tidak konsisten dalam memberikan kepada para santrinya. Ustadz Ihsan menyuruhku untuk tidak mendekati Raffa dahulu, biar Raffa menjadi urusan para pengasuh. Yang terpenting adalah bagaimana aku melindungi teman-teman sekamar untuk tidak terpengaruh oleh Raffa saat ini. Itu jelas menjadi tanggung jawabku sebagai ketua kamar. Akupun mengucapkan terima kasih kepadanya lalu segera kembali ke kamar untuk melaksanakan sholat dzuhur.
***
Ujian telah berlalu, kini kami mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah masing-masing. Tiba-tiba Raffa datang menemuiku. Digenggamnya lenganku sembari berkata, “Zal, makasih banyak buat perhatian kamu selama ini. Tadi aku dipanggil oleh ustadz Ihsan, katanya selama liburan ini aku harus menetap di pondok. Aku sudah lelah dengan hidupku yang tidak jelas ini, Zal…Aku mohon doa dari kamu ya…”,ungkapnya penuh haru. Alhamdulillah…beribu syukur kupanjatkan pada Allah SWT. Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk Raffa. Setelah itu ia pergi. Akupun menyandang tasku dan berbaur dengan ribvuan santri lainnya yang hatinya dipenuhi kerinduanh akan ayah bunda tercinta. Sepanjang jalan kurunut kembali awal pertemuanku dengan Raffa. Anak dari seorang pengusaha ekspor-impor kayu di Kalimantan. Secara matearilistis, Raffa pasti bahagia. Namun lain kenyataannya. Di umurnya yang masih belia Raffa dihadapkan pada kenyataan yang sulit diterima oleh setiap anak. Orang tuanya bercerai dan terjadi perebutan hak asuh antara kedua belah pihak. Raffa jatuh ke tangan ayahnya dan ibunya depresi karena akhirnya tak kunjung bertemu dengan Raffa. Oleh neneknya, Raffa kemudian dimasukkan ke pondok ini demi menghindarkan pertentangan antara kedua orang tuanya. Selama di pondok, kiriman uang dan makanan Raffa tak pernah terlambat. Jadilah Raffa seorang pribadi yang bebas namun hatinya penuh dendam dan kebencian. “TIIIT!!!” klakson bus yang kutumpangi menghamburkan lamunanku. Dan memori tentang Raffa lenyap seketika. Karena pintu rumahku kini sudah di depan mata…
***
Masa liburan yang hanya tiga minggu kini selesai sudah. Aku kembali ke pondok ditemani oleh ayah Sesampainya di gerbang ayah segera pulang karena harus menyelesaikan pekerjaanya. Sesampainya di kamar baru ada Fathan, Habib dan Gusti. Aku mencari-cari sosok Raffa namun tak satupun dari mereka yang mengetahui keberadaanya. Kucari Ustadz Ihsan, kudapati ia di kantor guru sedang merapikan hasil ujian kami. Dari beliau baru kuketahui kalau kini Raffa sedang liburan. Setelah 2 minggu, perkembangan Raffa tampak lebih baik. Menurutnya Raffa mulai rajin beribadah. Bahkan ibadah yang bersifat sunnah pun kini mulai dikerjakannya. Selain itu, menurut psikolog yang menanganinya perkembangan jiwa Raffa sudah mulai membaik. Setidaknya ia tak lagi memberontakdan membangkang jika disuruh. Sebaliknya ia berubah menjadi anak yang patuh dan mudah diberi pengertian. Hah…aku benar-benar bersyukur pada Khaliq-ku yang telah memberikan hidayahNya pada Raffa. Akupun kembali ke kamar setelah menyerahkan sedikit buah tangan untuk ustadz Ihsan.(bersambung...)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Barbie Berjilbab, Potret Muslimah Kita